Jumat, 04 Juli 2014

NOVEL Sepasang Kaos Kaki Hitam


Oke kali ini saya akan posting Novel karya dari Om Ariandi Ginting / @pudjanggalama. Buat yang belum baca reccomend banget ini Novel ceritanya menarik dan bikin penasaran. Ini screenshoot yang nanya langsung ke Om Ari di twitter 



Mari langsung aja baca ceritanya....Enjoy for reading guys!!!






Sepasang Kaos Kaki Hitam (SK2H)


Part 1

akhir bulan September 2000...

Gue lulusan SMA tahun 1997 dan memutuskan meneruskan kuliah sampai berhasil mendapatkan ijazah Diploma 3 yg gue selesaikan hanya dalam waktu dua setengah tahun di sebuah fakultas di kota kelahiran gue.
 
dan berbekal ijazah itu gue coba mengirim lamaran ke beberapa perusahaan di ibukota karena gue pikir perusahaan di kota tempat gue tinggal nggak begitu menjanjikan. makanya gue pilih ke luar kota, siapa tau peruntungan gue memang di sana. namun berbulan-bulan gue tunggu tetapi belum juga ada jawaban dari lamaran gue.

sudah hampir genap satu tahun gue menganggur di rumah membebani orangtua. dan pada pertengahan Agustus tahun 2000 gue mendapatkan sebuah surat panggilan dari sebuah perusahaan produsen alat-alat elektronik di Karawang. gue sendiri heran karena seingat gue, gue hanya mengirim lamaran ke perusahaan di Jakarta dan Bandung. tapi namanya pengangguran, gue ambil aja kesempatan ini.

dan berangkatlah gue ke Karawang...

di Karawang gue nggak punya kenalan siapa-siapa. maka gue keliling di sekitar perumahan yg letaknya dekat ke kawasan industri biar lebih dekat dengan kantor. selama tes berlangsung gue numpang tidur di sebuah mesjid. untungnya tes nya cuma tiga hari. setelah ada keputusan gue diterima kerja magang, gue putuskan mencari kosan. dengan bantuan tukang ojek yg gue kenal sewaktu ngobrol-ngobrol di mesjid, gue akhirnya menemukan sebuah kontrakan di daerah Perumahan Teluk Jambe.

kontrakan itu lumayan laris. dua lantai di bawah sudah terisi penuh dan hanya ada sisa satu kamar di lantai tiga.

"tinggal yang ini Mas," kata Pak Haji pemilik kosan menunjuk pintu sebuah kamar di ujung koridor..

gue memandang berkeliling sementara Pak Haji membukakan pintu untuk gue melihat-lihat kamarnya. di lantai atas ini cuma ada enam kamar. masing-masing kamar sudah dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi di dalamnya. dengan harga sewa seratus ribu rupiah per bulan, gue terima dan mulai hari itu gue resmi jadi penghuni kamar nomor 23. kamar-kamar di sini terpisah koridor selebar kurang lebih dua meter. tiap sisi ada tiga kamar yg saling berseberangan. gue sendiri merasa cukup beruntung karena mendapat kamar yg posisinya paling ujung. kamar gue dan kamar di depan disambung oleh sebuah tembok pendek berukuran setengah meter sebagai pembatas.

besok gue sudah mulai kerja, maka hari ini juga gue berbenah kamar. menyapu dan mengepel serta membersihkan dinding dari sarang laba-laba yang menempel. nampaknya kamar ini sudah lama tidak ditempati. dan sesi bersih-bersih itu selesai pukul setengah lima sore. gue sedang duduk di kursi kecil depan kamar saat kamar sebelah gue mulai menyetel lagu dengan volume kencang. beginilah nasib anak kos baru, cuma bisa jadi pendengar setia.

setelah capek bersih-bersih dan menyempatkan mendengar tiga buah lagu yg disetel kamar sebelah, gue turun keluar mencari warung makan. limabelas menit kemudian gue sudah berjalan di tangga menuju kamar gue dengan sekantong nasi bungkus di tangan. anak-anak kamar sebelah gue nampaknya masih asyik tidur di kamar mereka, karena gue tau rata-rata penghuni kosan ini adalah karyawan yg bekerja di kawasan industri.

hanya ada satu pintu yg terbuka, pintu kamar seberang gue. di depan pintu seorang wanita sebaya gue sedang duduk memeluk lutut dan memandang kosong ke lantai di bawahnya. rambutnya panjang dibiarkan tergerai sedikit menutupi wajah. hidung mancung dan berperawakan lumayan tinggi. saat itu dia mengenakan sebuah celana jeans pendek se paha, tapi yg menarik perhatian gue adalah kaos kaki yg dipakainya itu. kaos kaki panjang sampai menutupi lutut. Karawang adalah kota yg panas, maka gue sendiri aneh melihatnya memakai kaos kaki yg begitu panjang.

"sore Mbak," sebagai "anak baru" gue memberanikan diri menyapa supaya dinilai sopan.

diam. wanita itu bergeming. jangankan membalas sapaan gue, mengangkat kepalanya pun tidak.

"selamat sore Mbak..." kali ini gue coba keraskan suara.
dia tetap diam.

"sialan," omel gue dalam hati. maka gue putuskan langsung masuk ke kamar dan menyantap nasi bungkus gue.

nggak ada yg spesial di hari pertama gue di kosan. kecuali momen mati lampu pada jam delapan malam, gue memutuskan segera beranjak tidur karena besok pagi gue tidak boleh terlambat datang ke kantor. gue cukup senang listrik mati, karena itu artinya gue bisa dengan tenang tidur. kamar sebelah gue mendadak menjadi "bisu".

entah sudah jam berapa saat itu, dalam kondisi kantuk yg mulai menjalari mata, samar-samar gue seperti mendengar sebuah suara. asalnya dari luar, entah dari sebelah mana. sebuah suara isak tangis seorang wanita, gue yakin. isakan kesedihan yg dalam.

bulu kuduk gue merinding. pikiran gue mulai membayangkan kelebatan-kelebatan sosok yg bahkan nggak pernah gue tau keberadaannya. gue menaikkan selimut sampai menutup kepala. suara itu hilang.

gue diam memasang telinga berusaha menangkap suara-suara lagi. tapi tidak ada suara apa pun. beberapa menit gue masih terjaga memastikan. tetap sunyi. hanya suara degup jantung di dada gue yang terdengar mengalun berkejaran dengan suara detik jam di dinding....



Part 2

esok paginya gue terbangun dengan kepala pening. agaknya gue salah posisi tidur semalam. gue lihat jam setengah enam pagi. buru-buru gue mandi, gue harus sudah di kantor jam tujuh meski jam masuk adalah jam setengah delapan. hari pertama ini gue harus memberikan kesan yg baik kepada atasan gue.

selesai mandi gue bergegas mencari sarapan. pagi begini ada penjual nasi uduk "dadakan" di depan kos jadi gue nggak perlu repot-repot nyari sarapan. seperti yg sudah gue bilang, penghuni kontrakan ini kebanyakan karyawan pabrik. lapak nasi uduk ini sudah dipenuhi antrian mereka yg hendak berangkat shif pagi.

gue berdiri di belakang antrian. dari sini gue bisa melihat pintu kamar gue di atas. dan di tembok pembatas itu, gue melihat dia. wanita yg kemarin gue temui di depan pintu kamarnya. dia sedang memandang kosong seperti kemarin. dan saat gue perhatikan ekspresi hampa nya, gue jadi teringat suara tangisan yg gue dengar semalam.

apa mungkin tangisan itu adalah suara dia? kalau dilihat dari sikapnya, kemungkinan besar memang benar. wanita berkaos kaki hitam, begitu gue memanggilnya mulai hari ini.

dan pagi itu pun gue memulai hari pertama gue kerja, atau lebih tepatnya disebut magang. setelah lewat masa magang selama 1 tahun, gue akan dipromosikan sebagai staff di bagian General Affair sesuai fresh graduate gue. suasana kantor cukup menyenangkan dan bersahabat. meski sangat terkesan kikuk, gue mencoba secepat mungkin beradaptasi dengan lingkungan kerja yg baru ini.

karena ini hari pertama, gue cuma diberi tugas ringan. mengecek data kelengkapan barang keperluan karyawan dan beberapa tugas ringan lainnya. gue lebih banyak nganggur. nganggur bikin gue bengong. dan orang bengong pasti melamun.

maka mulai melintas pertanyaan-pertanyaan aneh di benak gue. tentang wanita berkaos kaki hitam itu. apa yg selalu dilamunkan oleh dia? apa dia menderita depresi berkepanjangan? karena gue lihat nggak ada sedikitpun ekspresi ceria di wajahnya. dan lambat laun otak gue mulai dipenuhi bayangan-bayangan wanita itu.

gue mesti cari tahu. dan sorenya sepulang kerja gue beranikan diri berkenalan dengan penghuni kamar sebelah gue yg selalu "berisik". sore itu dia menyetel lagu band yg sedang naik daun saat itu.

"kerja dimana Mas?" Indra, nama laki-laki itu. kami mengobrol di teras kamarnya.
"di SH**P," jawab gue.

"udah lama?"

"baru kemaren kok. semalem baru gue tidur di sini."

Indra mengangguk. dan kami mulai larut dalam obrolan ringan. setelah gue rasa cukup akrab sebagai orang baru, gue beranikan diri bertanya tentang 'dia'.

"oh iya Ndra, lo tau nggak cewek penghuni kamer depan gue?"

"emang ada ya yg nempatin kamer itu?" dia malah balik tanya.

"lah..kemaren gue liat kok. cewek yg pake kaos kaki item panjang itu?"

"lo liat setan kali?" Indra tertawa lebar. "hahaha.. sorry cuy. gue nggak hafal soalnya balik gawe gue 'ngebo' di kamer. keluar kalo nyari makan doang, abis itu molor lagi. sama kamer sebelah juga gue nggak kenal. cuma sama lo aja. itu juga lo nya yg ngajak kenalan duluan.."

gue menggaruk kepala yg sebenernya nggak gatal. rupanya gue salah pilih informan. dan rasa penasaran gue semakin membubung dalam dada. gue sengaja membuka sedikit gorden jendela kamar gue supaya bisa mengintip keluar kalau-kalau wanita itu menampakkan dirinya. gue ingin sekali melihat dengan jelas wajahnya tanpa tertutup rambut.

berjam-jam gue duduk di samping jendela yg kacanya rendah ini. tapi pintu kamar di depan gue tidak bergerak se inchi pun. entah berapa lama gue duduk dalam diam mengawasi dengan saksama.

tapi nampaknya malam ini misi gue nggak membuahkan hasil. gue malah tertidur di samping jendela dan bangun keesokan paginya dengan kepala lebih sakit......





Part 3

minggu pertama gue lalui tanpa kejadian aneh seperti malam pertama. rentang waktu ini gue gunakan untuk mengenal orang-orang di sekitar gue. selain Indra yg sekarang sudah jadi teman dekat gue, dua kamar lain dihuni karyawan sebuah perusahaan pabrikan mobil ternama. mereka terlalu sibuk dengan jam lemburnya jadi gue nggak begitu sering bertatap muka. sementara satu lagi kamar ditempati sepasang suami istri yg sama-sama berkarir sebagai karyawan swasta.

gue sekarang sudah akrab dengan Indra. hampir tiap malam gue numpang nonton tivi di kamarnya karena dengan bekal yg gue bawa dari kampung nggak mencukupi untuk membeli barang-barang kebutuhan sekunder. yg penting bulan pertama ini gue punya tempat untuk tidur dan mandi dulu. kebutuhan lainnya akan gue pikirkan nanti.

gue berhasil membuat Indra "tobat" dari kebiasaannya menyetel lagu menggunakan speaker aktif dengan volume berlebihan. gue menyarankan dia untuk memakai headset dan sekarang dia jadi maniak headset kalau balik kerja. dan sekarang lantai atas sudah sepi dari kegaduhan.

satu bulan berlalu sejak kejadian malam pertama, dan anehnya satu bulan ini gue nggak pernah sekalipun bertemu lagi dengan 'wanita berkaos kaki hitam'. berkali-kali saat hari libur gue tongkrongin depan kamarnya sambil main gitar milik Indra. gue yakin kalau kamar ini memang berpenghuni, orangnya pasti akan keluar. tapi nyatanya gue nggak mendapatkan hasil apapun. kamar ini seolah ditinggal begitu saja oleh pemiliknya. entah sudah berapa lama dia nggak balik ke kamarnya.

kadang gue coba beranikan diri mengintip ke dalam lewat celah di jendela. tapi kaca jendela tertutup rapat kertas koran yg ditempel dari dalam.

dan karena nggak juga membuahkan hasil, minggu ketiga dan keempat gue nggak lagi begitu tertarik dengan 'wanita berkaos kaki hitam'. gue nggak lagi mengintip dari balik jendela ataupun nongkrongin kamarnya. aktifitas gue kembali normal seolah tanpa terjadi sesuatu apapun. dan meski Indra masih menganggap yg gue lihat waktu pertama di sini adalah penampakan hantu, gue nggak begitu menakutkannya.

satu bulan pertama berhasil gue lalui dengan baik. karena gue mulai masuk job training pada pertengahan menjelang akhir September, gue baru menerima gaji pertama di akhir bulan berikutnya. setelah mengambil uang secukupnya dari ATM gue balik ke kosan membawa beberapa makanan dari mini market. sekali-kali gue traktir si Indra makan-makan karena selama satu bulan ini gue memang sering ditraktir olehnya dan gue juga sempat pinjam uang ke Indra karena bekal gue habis. maka gajian ini gue lunasi hutang gue. hehehe..

kamar Indra masih tertutup pagi itu. semalam dia masuk shif malam. gue putuskan menunda dulu acara makannya sampai dia bangun. lalu gue duduk di kursi depan kamar gue sambil main gitar nggak jelas sesuka hati.

gue sudah nggak begitu penasaran lagi dengan penghuni kamar depan gue karena lelah dengan pengintaian tanpa hasil. gue mulai berpikir untuk menerima argumen Indra bahwa yg gue lihat waktu itu adalah penampakan hantu. maka alangkah terkejutnya gue pagi itu ketika dari bawah terdengar suara kaki menapaki anak tangga menuju lantai atas dan yg muncul kemudian adalah dia !! wanita berkaos kaki hitam itu !!

mata gue langsung terpaku menatap sosok yg berjalan menuju kamarnya. dan sama seperti yg gue lihat waktu pertama kali, dia kali ini juga memakai kaos kaki hitam panjang. saat itu dia memakai kaos oblong putih dan rok pendek selutut. rambutnya diikat ke belakang. gue berhasil melihat wajah wanita itu secara utuh ! bahagianya gue...

dan jantung gue tiba-tiba berdegup sangat kencang ketika wanita itu menoleh dan tersenyum ke arah gue. gue balas senyumannya dengan cengiran culun.

"anak baru yah?" dia bertanya sambil tangannya membuka kunci pintu kamarnya. nada suaranya terdengar sangat ramah dan bersahabat.

gue mengangguk. dan dia tersenyum lagi sebelum akhirnya masuk ke kamar lalu menutup lagi pintunya. secara refleks gue bergegas ke kamar Indra mengetuk pintunya dengan keras.

"Dul, bangun Dul.." teriak gue sambil tangan gue tetap menggedor pintu. beberapa lama nggak ada jawaban sampai akhirnya kepala Indra yg gundul plontos itu muncul dari balik pintu yg terbuka. mukanya kusut dan berminyak.

"apaan sih ganggu orang tidur aja?!" Indra menggerutu.

"cewek itu Ndul," kata gue bersemangat.

"cewek mana??" Indra kesal.

"cewek depan kamar gue ! dia barusan dateng tuh, ada di kamernya !!"

"terus apa hubungannya sama gue?"

"gue mau buktiin kalo dia bukan hantu. gue mau lo ketemu langsung sama orangnya !"

"busyet..gue baru tidur satu jam udah maen bangunin aja buat yg nggak jelas!"

"lo tadi tidur jam tujuh, sekarang jam sembilan. berarti lo tidur dua jam."

"iya..beda dikit!" lalu Indra menutup pintu lagi dan terdengar suara gerendel yg dikunci dari dalam.

beberapa kali gue panggil lagi tapi dia enggan menjawab. gue berdiri terpaku menatap pintu kamar di depan gue. gue yakin hari ini semua pertanyaan gue akan terjawab...


Part 4

ada semacam rasa senang saat memandang wanita itu tersenyum. love at the first sight atau entah apapun itu namanya, gue seperti terkena addict. gue ingin melihatnya tersenyum lagi. ekspresi tenang dan menyenangkan yg gue lihat pagi ini benar-benar berbeda dari yg pertama gue temui dia tengah murung dan melamun. entahlah, apa sekarang beban pikirannya sudah hilang? apa masalah yg menghantuinya sudah benar-benar bisa diatasi?

gue nggak peduli itu. yg gue pedulikan adalah gimana caranya gue bisa ngeliat dia senyum lagi ke gue.

dua jam sudah gue duduk mengamati kamarnya tanpa bergeser se inchi pun dari posisi gue. sambil menikmati makanan yg akhirnya gue habiskan sendiri, gue menunggu dia membuka pintu dan menampakkan diri. saat itulah nanti gue akan coba berkenalan atau sekedar say hayy.

lampu dalam kamarnya masih menyala. saking konsentrasinya gue sampai nggak menyadari kehadiran Indra di depan pintu kamar gue.

"ngapain lo Ri bengong gitu?" kata Indra sambil kucek-kucek mata dan menguap lebar.

gue menoleh ke arahnya yg menatap gue heran.

"gue pengen buktiin ke elo," kata gue.

"bukti apaan?" sahutnya malas.

"tuh liat," gue menunjuk kamar wanita itu.

"apaan yg lo maksud?"

"tuh liat lampu kamer nya nyala. berarti ada orang di dalemnya kan?" gue mengamati ekspresi wajah Indra.

"mana? apanya yg nyala??" katanya datar.

"itu lamp.........." gue terdiam saat menoleh ke depan dan mendapati lampu kamar di dalamnya mati. keadaan di dalam sana gelap total. gue nggak percaya ini. gue kedipkan kedua mata gue berkali-kali, berharapa pada kedipan ke sekian gue akan melihat lampunya menyala lagi dan gue akan bilang ke Indra 'tuh kan..'

tapi lampu itu tetap mati.

"ckckck..." Indra geleng kepala. "lo beneran liat setan kali Ri!"

gue diam. gue tau posisi gue saat ini nggak menguntungkan untuk melakukan debat dengannya. gue hanya heran, kenapa wanita ini sepertinya enggan menampakkan diri ke orang lain.

"ngapain lagi lo, Ri?" tanya Indra begitu melihat gue bergerak ke pintu kamar depan gue.

"permisi..." gue mengetuk pintu. gue tunggu beberapa detik, dan gue ulangi lagi ketukan saat nggak ada sahutan dari dalam.

"serah lo deh Ri. mau lo bilang cewek pake kaos kaki item, atau kaos kaki nya dipake cewek...lo kayaknya butuh dukun," Indra berkomentar.

"dukun? buat apaan?"

"kali aja lo mau melahirkan." jawabnya asal. "gue bawa makanannya ya. thanks," lanjut Indra sambil meraih kantong berisi makanan dari atas kursi lalu masuk lagi ke kamarnya.

gue diam memandang pintu kayu di hadapan gue saat ini. ingin sekali gue mendobraknya dan memastikan wanita ada di baliknya. tapi rasa penasaran gue perlahan diselimuti rasa takut yg tiba-tiba.

"jangan-jangan emang hantu??" batin gue dalam hati.

"Ndra..." gue berjalan ke kamar Indra. "utang gue berapa ke elo?"

Indra sedan nonton berita di tivi.

"pego. eh, emangnya lo udah ada buat bayarnya?"

"ada dong. kemaren gue gajian," gue mengambil dompet lalu memberikan sejumlah uang yg dimaksud ke Indra.

"thanks ya. laen kali gue nganjuk lagi ke elo. hehehe..."

Indra hanya menggerutu pelan.

"eh, ada temen gue mau kenalan sama elo Ri." kata Indra.

"temen? siapa? cewek apa cowok?"

"cewek. cakep lagi," Indra mengacungkan jempol tangannya.

"serius lo?"

Indra mengangguk mantap.

"kok bisa, mau kenalan sama gue?" tanya gue heran.

"temen gue namanya Desi, biasa pada manggil Echi. temen sekolah dulu sih, ketemu lagi di sini. doi lagi patah hati ditinggal kimpoi mantannya, jadi ya butuh temen ngobrol gitu. tapi inget, jangan macem-macem lo. jangan di apa-apa in deh."

"busett...kayak gue penjahat kelamin aja," sahut gue. "lagian kan udah ada elo? kenapa nggak sama lo aja ngobrolnya?"

"kan gue sama dia udah kenal? ya sama temen sekolah gimana sih rasanya? gue pikir sama lo bakal nyambung deh."

"ya udah bawa sini aja anaknya."

"beneran? entar malem gue suruh ke sini deh."

gue mengangguk setuju lalu beranjak pergi.

"eh eh...mau ke mana lo?"

"tidur," jawab gue singkat.

"inget lho pesen gue tadi!"

"iyaa bawel lo!"

gue masuk ke kamar. sepintas gue pandangi pintu kamar di seberang gue. tertutup rapat dan gelap di dalamnya. mungkin tadi memang benar-benar hantu? atau gue yg berhalusinasi? entahlah, yg pasti saat ini gue butuh yg namanya tidur...


Part 5

malam minggu itu Indra benar-benar membuktikan ucapannya. sekitar jam setengah delapan malam dia muncul di atas tangga bersama seorang wanita yg baru gue lihat. mereka berjalan ke arah gue yg sedang duduk di atas tembok beranda pembatas kamar.

"Chi, ini dia cowok yg gue ceritain ke lo." Indra menunjuk gue. "Ri, kenalin nih Echi."

kami berjabat tangan.

"salam kenal ya," kata Echi seraya tersenyum.

Echi bertubuh pendek, tingginya sekitar di telinga gue kalau kami sama-sama berdiri. kulitnya putih dan berambut panjang sebahu. sebenarnya gue yakin wajahnya manis, tapi agaknya dia sedikit over dengan make up yg dipolesnya di wajah.

"ya udah kalian ngobrol-ngobrol aja dulu, gue mau ngapel." Indra meninju lengan gue pelan. "inget pesen gue tadi pagi."

gue cuma nyengir. Indra mengedipkan matanya ke Echi lalu beranjak turun ke tangga.

"kalian ada 'pesen' apa sih?" Echi tertarik dengan ucapan Indra tadi.

"eh, enggak kok bukan apa-apa. biasalah Indra emang ngaco. hehehe..."

gue turun dari duduk gue lalu berjalan mengambil kursi di depan kamar.

"duduk," gue mempersilakan Echi.

"lo sendiri?"

"biar gue berdiri aja gak papa kok."

"kita ngobrol di kamer lo aja deh biar bisa sama-sama duduk."

"udah gak papa nyantai aja lah. gue lagi pengen menikmati udara malem," gue memandang ke depan. lampu-lampu pabrik di kejauhan sana seperti kunang-kunang di tengah ladang. gue kerap menikmati pemandangan ini yg sering membuat gue kangen kampung halaman.

"lo udah kenal lama sama Indra?" Echi membuka pembicaraan.

"belum sih. gue baru ke sini sebulan yg lalu, kurang lebih.." gue biarkan angin malam berembus menerpa wajah gue dengan sejuknya. "lo sendiri temen sekolahnya kan?"

Echi tertawa. saat itulah kawat giginya tampak berkilat tertimpa cahaya lampu.

"kok malah ketawa?"

"enggak papa lucu aja kalo inget jaman sekolah dulu," kata dia. dan Echi mulai bercerita tentang dia dan Indra yg dulu di sekolah sering cekcok adu mulut gara-gara hal sepele. Indra terkenal murid yg suka nyontek, dan setiap ada kesempatan menangkap basah dia yg lagi nyontek, Echi pasti langsung melapor ke guru yg mengajar. jadilah mereka sering ribut.

sejauh ini penilaian gue terhdap Echi adalah dia anak yg smart. dia juga pintar membawa suasana dengan candaannya yg fresh. samasekali nggak gue lihat kemurungannya akibat broken heart seperti yg diceritakan Indra tadi pagi.

kami larut dalam obrolan ringan sebagaimana dua orang yg baru kenal. gue sendiri belum berani menanyakan hal-hal yg bersifat pribadi darinya dan nampaknya dia pun sama. cukup lama kami ngobrol tanpa terasa sudah hampir jam sepuluh malam. anak-anak kos di lantai bawah yg tadi terdengar rame dengan obrolan dan nyanyian kini lebih menyepi. mereka mulai beranjak tidur. di lantai atas sendiri cuma ada gue dan Echi. dua kamar yg lain penghuninya sedang lembur shif malam dan pasangan suami-istri di depan kamar Indra sudah sejak awal mengunci pintu. dan kamar di seberang kamar gue, entahlah gue nggak mengerti.

"eh iya, keasyikan ngobrol sampe lupa ngasih minum," kata gue. "mau minum apa? adanya aer putih doang sih. hehehe..."

"udahlah gak perlu repot-repot."

saat itu gue dan Echi berdiri bersebelahan bersandar pada tembok beranda. gue pandangi Echi yg sedang menikmati lampu-lampu di seberang sana.

dan saat itulah gue melihatnya!!

kedua mata yg mengintip dari celah kertas koran di kaca jendela. dari seberang kamar gue. wanita itu...

dia kah itu?

"kenapa?" Echi bertanya melihat perubahan ekspresi di wajah gue.

"ah, ng....anu....enggak papa enggak papa kok," gue tarik nafas panjang. "kita turun aja yuk cari makan? gue laper nih."


"mau makan apa?"

"pecel lele aja deh, yg di deket wartel itu enak lho. mau?"

"boleh deh.."

walau keheranan Echi mengikuti gue turun keluar mencari kedai nasi pecel langganan gue. di sana kami ngobrol-ngobrol lagi. kami sudah lebih saling kenal sekarang. dan malam itu gue akhiri dengan mengantar Echi sampai pertigaan untuk menggunakan angkot balik menuju kosannya..


Part 6

gue tapaki anak tangga menuju kamar. tiba di anak tangga terakhir mata gue terpaku pada sosok wanita yg duduk di beranda sambil memandang kosong ke depan seperti biasanya. malam sudah larut saat gw balik mengantar Echi, dan wanita itu seolah tidak peduli dengan dingin angin ataupun gigitan nyamuk di lengannya. dia benar-benar seperti patung.

gue masuk ke kamar dan menutup pintu tanpa menyapa wanita berkaos kaki hitam itu. lalu gue mulai berguling di atas kasur mencoba mencari posisi yg pas untuk segera tidur. lima menit...sepuluh...duapuluh....sampai setengah jam, mata gue enggan terpejam.

gue duduk. memandang hampa atap kamar lalu memutuskan keluar untuk sekedar menghirup udara segar. dan wanita itu masih di tempatnya. sama persis posisi duduknya seperti yg terakhir gw lihat.

"nih," gue menyodorkan lotion anti nyamuk kepadanya. ada lebih dari lima ekor nyamuk yg sedang asyik menyedot darah di lengan kirinya.

"..............."

wanita itu diam. bola matanya bahkan nggak bergeser satu milimeter pun dari tempatnya.

"ya udah gue aja yg pake," kata gue, lebih tepatnya pada diri sendiri. semenit kemudian kulit gue sudah terlindung dari nyamuk.

gue pandangi wajah wanita itu, lalu mencoba mengikuti arah pandangan matanya. hanya menatap deretan lampu-lampu di kejauhan sana.

"ngeliatin apa sih mbak?" tanya gue.

sunyi.......

"lagi sariawan ya?" kata gue lagi.

tetap sunyi..........

"mau kopi?"

masih sunyi...............

"udaranya dingin banget yah?"

"sendal jepit gue putus."

"tadi di jalan tukang nasi gorengnya brewokan."

aaaahhh.....mulut gue nyaris berbusa mencoba berbicara pada wanita itu tapi tetap nggak ada jawaban satu huruf pun dari mulutnya.

gue mulai kesal. gue masuk kamar, mengambil gitar dan kembali ke beranda lalu duduk di tepian tembok. tanpa memedulikan orang di sebelah gue mulai bernyanyi. ada lagu yg liriknya tepat sekali untuk menyindir wanita ini. sebuah lagu yg waktu itu lagi in banget. dengan sedikit serak tapi banyak fals nya gue coba menyanyikan 'Pelangi di Matamu' milik Jamrud.

"tigapuluh menit kita di sini tanpa suara..."

gue yakin lirik awal lagu ini ngena banget. itu kalau dia mendengarkan.

"dan aku resah...harus menunggu lama...kata darimu......"

gue terdiam. suaranya terdengar dalam. ya, wanita di samping gue tanpa gue duga melanjutkan liriknya. kedua mata gue melongo menatap wajahnya. dia samasekali nggak bergerak dari tempatnya duduk, hanya bibirnya yg tipis terbuka perlahan melantunkan lirik lagu.

gue speechless. jari-jari gue mendadak kaku untuk memetik senar di tangan gue. tapi wanita itu tetap bernyanyi meski tanpa iringan gitar dari gue.

setelah bisa menguasai diri lagi gue kembali memetik gitar membiarkan dia yg bernyanyi. memang ada beberapa kata dalam liriknya yg salah tapi over all ini adalah lagu yg indah dinyanyikan di malam hari bareng seorang wanita.

tepat saat lagu selesai wanita itu turun dari duduknya, tanpa memandang gue, lalu beranjak ke kamarnya. lampu dimatikan. dan hanya hening yg tersisa sekarang.

sampai detik ini gue masih belum yakin kalau yg tadi itu benar-benar terjadi. mimpi apa gue denger dia nyanyi sementara untuk bicara pun dia pelit.

"woy..belom tidur lo?" Indra tiba-tiba muncul dan membuyarkan lamunan gue.

"eh, tadi dia di sini lho. di sebelah gue. kita nyanyi bareng malah, lagunya Jamrud itu lho! yg jam dinding nya bisa ketawa," gue mencecar Indra dengan antusias yg agak berlebih.

Indra geleng kepala sambil elus-elus dadanya.

"gue juga sebenernya pengen ketawa," katanya sambil berjalan mendekati gue. "awalnya gue pikir lo becanda waktu bilang ketemu cewek itu, tapi kayaknya lo beneran deh."

"kan gu..."

"beneran gila lo!" sela Indra. "mana? mana cewek itu sekarang? gue jadi prihatin sama lo. besok kita ke psikiater deh, kalo nggak dukun aja buat periksain otak lo yg mulai jereng itu."

"gue serius, Dul."

"serius gila nya? hahaha..."

gue tarik napas panjang. lagi-lagi percuma untuk mendebat Indra.

"udah deh jangan bahas itu. gimana tadi sama Echi nya?" tanya Indra mengalihkan topik.

"engga gimana-gimana kok. biasa aja."

"biasa kayak gimana maksud lo?"

"setau gue yg namanya 'biasa aja' ya nggak gimana-gimana deh."

"itu kata elo. kalo kata gue, kayaknya lo suka deh sama dia. iya kan?"

"ah, ngasal aja lo."

"alaah...sama gue aja pake rahasia-rahasiaan." Indra menyalakan rokoknya. "terus gimana kelanjutannya?"

"tau deh, ketemu aja nggak tau kapan."

"makanya beli HP doong biar bisa SMS an. canggihan dikit napa? nih kayak gue," Indra mengeluarkan Nokia 3315 nya. (jaman segitu ni HP masih tergolong kelas atas cuy! gue aja belom punya HP saat itu)

"tuh liat bisa bikin gambar sendiri. canggih kan??" lanjut Indra menunjukkan layar monochrome kuning bergambar sebuah logo nama dirinya. saat itulah ada panggilan masuk. Indra segera ke kamarnya.

tinggal gue sendirian lagi. cukup lama gue termangu menatap pintu kamar itu. dan akhirnya gw habiskan malam dengan menyanyikan lagi lagu itu berkali-kali.


Part  7

harusnya minggu pagi yg mendung itu gue habiskan dengan meringkuk di bawah selimut sampai siang karena semalaman tadi gue begadang di kamar Indra main Play Station sampai jam empat pagi. selepas subuh gue baru bisa terlelap. tapi suara ketukan di pintu sangat mengusik kenyamanan gue pagi itu. awalnya gue abaikan, tapi makin diabaikan suaranya malah semakin keras.

"iya bentar!" gue menggerutu dengan kesal lalu keluar dari balik selimut ke arah pintu.

"hay Ri..." gue mendapati Echi tersenyum lebar ke gue. "baru bangun ya?"

"eh, kamu Chi." gue buru-buru mengusap wajah gue dengan sarung yg melingkar di pundak gue.

"tadi lagi tidur ya?" tanya Echi lagi.

"ya begitulah. hehe.." gue nyengir pait. gue yakin saat itu gue culun banget. muka kusut, rambut acak-acakan ditambah sisa-sisa iler yg mungkin masih menempel di pipi. (gak usah dibayangin ya! )

"masuk gih," gue mempersilakan Echi masuk sementara gue bergegas cuci muka di kamar mandi.

"gue ganggu tidur lo ya Ri?"

"enggak kok nyantai aja lah kayak di pantai," suara gue menggema di dalam kamar mandi kecil itu.

"lo nggak lembur?" tanya Echi lagi begitu gue keluar dari kamar mandi dan menyeka wajah dengan handuk.

"staff mana dapet lembur sih? paling yg lembur orang-orang di jalur produksi aja." gue duduk bersandar di dinding, seberang tempat Echi duduk. gue nyalakan sebatang Marlboro sambil sedikit merapikan sisiran rambut.

"tumben amat pagi-pagi gini lo ke sini? perasaan baru semalem kita ketemu deh?" asap dari mulut gue mulai memenuhi seantero kamar.

"gue beliin lo sarapan. nih," Echi menyodorkan bungkusan plastik hitam yg sejak tadi dipegangnya.

"apaan tuh?"

"cuma nasi uduk kok. kebetulan lewat depan gang masih ada yg jual. sok dimakan, nanti basi dulu."

"wah lo tau aja gue laper," gue meraih bungkusan itu. "sory yah ngerepotin."

"enggak papa kok, enggak ngerepotin juga."

"yaa gue basa-basi aja biar lo nggak kapok beliin sarapan buat gue. yg sering aja ya?"

"yeeeey.....enak aja. tekor dong gue?! hehehe."

"kok belinya cuma satu? lo udah sarapan?"

"tadi gue belinya memang pas udah mau abis. itu juga cuma ada segitunya kok."

"lo udah sarapan belum?"

Echi menggeleng.

"ya udah kita barengan aja," gue mengambil dua buah sendok dari rak kecil di samping dispenser.

"entar lo nya kurang nggak?" Echi menerima sendok dari gue dengan ragu.

"udah nyantai aja, kalo kurang entar gue beli lagi di gang sebelah ada yg jualan." gue terpaksa mematikan rokok gue dulu di asbak.

"yakin nih?" tanya Echi lagi.

"yaelaah masih nanya aja nih anak. udah ayo makan," gue mulai melahap sendokan pertama. awalnya ragu tapi kemudian Echi melakukan hal yg sama.

dan akhirnya kami sarapan sepiring berdua. hanya butuh sepuluh menit untuk menghabiskan nasi di piring.

"thanks ya Chi," gue bersendawa kecil setelah minum.

gue duduk lagi di tempat gue tadi. menyulut kembali sebatang Marlboro sebagai "hidangan penutup" sarapan pagi itu. gue lirik jam dinding menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat. berarti tadi gue tidur hanya sekitar tiga jam.

hufft......gue mengembuskan asap putih dari mulut gue, berharap rasa kantuk yg masih menggelayuti mata gue juga ikut pergi bersamanya.

"Indra lembur ya?" tanya Echi membuyarkan lamunan sekaligus membuat gue terjaga dari lelap yg sempat menghinggapi gue beberapa detik yg lalu.

"eh, enggak kok. semalaman gue begadang sama dia maen game. jam segini mah di masih asyik sama bantalnya."

"kalian begadang sampe pagi yah?"

gue mengangguk.

"wah berarti tadi gue beneran ganggu dong? lo pasti masih ngantuk ya, Ri?"

gue tersenyum.

"kurang lebih seperti itu," nggak ada gunanya basa-basi pura-pura nggak ngantuk.

"emh...ya udah deh lo lanjutin aja lagi tidurnya."

"nah terus elo nya?"

"gue jagain lo tidur deh," katanya tanpa nada terpaksa. "lo punya koleksi novel kan? lo tidur aja, gue mau baca novel deh."

"enggak bosen tuh? kalo nggak kuat dan mau balik, ya balik aja nggak usah ngerasa nggak enak sama gue."

"lo ngusir nih ceritanya?"

"hehehe.. enggak kok bukan gitu. ya udah tuh novelnya ambil aja," gue menunjuk tumpukan buku di atas lemari kecil di sudut kamar. "bentar gue abisin dulu rokoknya. tanggung nih."

beberapa saat kemudian Echi sudah larut dalam novel yg dibacanya. gue menikmati hisapan terakhir rokok gue, setelah itu beranjak ke kasur. rasanya nyaman sekali merebahkan tubuh ini.

"jangan lupa doa dulu," Echi mengingatkan.

"wah gue hafalnya doa makan nih."

Echi menepuk kaki gue. gue sudah memejamkan mata saat gue rasakan kehangatan mulai menyelimuti tubuh gue. gue membuka mata. Echi menutup tubuh gue dengan selimut.

"thanks Chi. lo baik banget yah?"

"udah tidur sana jangan banyak komentar." Echi duduk di samping kasur tepat di sebelah kepala gue. dia kembali asyik dengan novel yg dipegangnya.

ah, pagi yg dingin ini gue rasakan mendadak hangat. entah karena selimut ini atau karena sosok wanita di samping gue. yg jelas nggak butuh waktu lama buat gue masuk ke dunia mimpi.....


Part  8

hari-hari gue kini sedikit banyak berbeda dengan sebelumnya. Echi hadir menjelma jadi pengisi kekosongan yg gue rasakan sebelumnya. kalau nggak Echi yg menginap di kamar gue, maka gue yg ngandong ke kosannya. kebetulan kami berdua sama-sama non shift jadi nggak ada istilah jam kerja malam.

layaknya pasangan lain yg tengah dimabuk asmara, gue dan Echi juga kerap memilih menghabiskan waktu berdua meski harus menolak jam lembur yg ditawarkan bos di kantor. gue pikir gaji tanpa lembur gue sudah lebih dari cukup. selain itu Echi adalah tipe cewek yg pengertian. nggak harus selalu cowok yg nraktir cewek, beberapa kali gue bahkan makan gratis dari dia.

soal Indra, awalnya dia heran karena gue sering nggak menampakkan diri di kosan. setelah gue beritahu kalo gue udah jadian sama Echi dia cuma tertawa lebar sambil tetap ngomong "jangan diapa-apain dulu!" yg gue jawab "udah terlanjur!"

jarang balik ke kosan, itu berarti gue juga jarang ketemu Indra. apalagi dia kan kena shift. makin jarang lah gue ketemu tuh anak. hari libur gue lebih suka menghabiskan waktu di kosan Echi atau sekedar jalan-jalan ke alun-alun kota bareng dia. yah pokoknya asal bareng Echi semua berasa indah deh. hehe...

memasuki bulan keempat gue kerja, gue memutuskan membeli sebuah handphone untuk mempermudah komunikasi gue dengan teman-teman dan juga Echi tentunya. sebuah handphone mungil dengan layar monochrome warna biru gue ingat betul handphone pertama yg gue punya waktu itu. dengan fasilitas seadanya hp itu tergolong elit lho pada masanya.

perlahan tapi pasti gaya hidup gue yg dulu seadanya dan gue usahakan sesederhana mungkin, kini mulai berubah ke arah glamour dan foya-foya. sebagai jiwa muda yg masih berkobar waktu itu gue merasa sedang dalam momen terbaik di hidup gue. berpenghasilan lumayan plus punya pacar cantik dan setia membuat gue mabuk kepayang. beberapa kali bahkan gue mabuk beneran bareng Echi di kosannya.

sudah setengah tahun kini gue bekerja di Karawang. meski jarang ditempati, tapi gue memilih bertahan di kosan gue. selain gue juga malas mencari lagi kosan yg lain, ada Indra yg membuat gue memutuskan bertahan di sana. bagaimanapun Indra tetap sahabat terbaik gue di kota ini. dia yg pertama gue kenal dan dia juga yg kerap membantu saat gue sedang kesulitan alias bisa ngutang dulu gitu! hehehe.. tapi gue akui Indra memang orang baik kok. walau jarang bertemu kami tetap berteman baik.

dan hari itu genap sudah dua minggu berturut-turut gue nggak balik ke kosan. kangen juga pengen tidur di ruangan kecil itu. pengen maen gitar punya Indra lagi. maka sepulang kerja gue kirim pesan ke Echi bahwa gue nggak ke kosannya malam ini.

"wah tumben lo balik," Indra menyambut gue di gerbang bawah. "masih inget kamer lo ya??"

"iya gue kangen nih sama kamer gue. pengen maen gitar juga. lo ngapain di sini?"

"abis balikin setrikaan temen. punya gue mendadak eror soalnya."

kami berjalan menapaki tangga menuju lantai atas sambil berbincang ringan. rasanya seperti kembali ke rumah sendiri saat gue pandang berkeliling kamar-kamar di sini.

"wah elo kumat lagi nih ya," gue mengomentari volume kencang dari speaker aktif di kamar Indra.

"kan elo jarang balik? nggak ada yg protes lagi. lagian juga di sini sepi kalo lo nggak ada. kan lo tau gue nggak begitu interaktif sama tetangga kamer."

kami duduk di beranda. dan saat itulah mata gue menatap pintu kamar di seberang kamar gue. kamar yg sampai sekarang masih menyimpan rasa penasaran gue. wanita itu....dia cukup terpinggirkan beberapa bulan ini saking sibuknya gue pacaran sama Echi.

"eh, kamer yg itu masih ada penghuninya enggak?" gue menunjuk kamar itu.

"tau deh gue juga nggak ngerti," Indra geleng kepala. "bener kata lo sih, emang ada cewek yg nempatin kamer itu. tapi jarang keliatan keluar masuk nya. gue beberapa kali pernah liat dia di kamer ini."

"terus?" gue seperti disulut penasaran lagi.

"terus apanya? ya biasa aja."

"bukan. maksud gue, cewek itu masih pake kaos kaki item panjang?"

Indra mengangguk lagi.

"menurut lo tuh cewek orang apa setan sih??" tanya Indra.

"jelas orang lah. mana ada setan pake kaos kaki?"

"ya kali aja dia lagi kedinginan?"

gue tertawa kecil. gue seperti mendapat sesuatu yg sempat hilang. rasa penasaran itu, yg sempat sirna beberapa waktu terakhir, kini mulai menjalar lagi di otak gue. terakhir gue ketemu cewek itu ya pas lagi nyanyi tengah malem itu aja. setelah itu dia seolah lenyap. atau gue yg melenyapkan diri ya??

yg pasti malam itu gue duduk lagi di tembok beranda. sambil menyetem gitar milik Indra, gue berharap wanita itu akan muncul lagi malam ini. gue pengen ketemu dia.

Indra lagi shift malam jadi gue sendirian di sana. dan sengaja malam ini gue akan menyanyikan lagu yg sama yg dulu pernah dinyanyikan wanita itu. baru saja gue masuk intro, terdengar sebuah suara dari belakang gue melantunkan lagunya. suara yg cukup melekat di pikiran gue.

wanita berkaos kaki hitam itu. dia ada di belakang gue...


Part 9

bukan. itu bukan dia...

suaranya lain. eh, iya itu dia. tapi bukan! cara menyanyinya lain!

ah, daripada bingung sendiri gue balikkan badan dan...

"hemmpph........" gue cukup dibuat terkejut saat mendapati sosok Echi berdiri di belakang gue. nyaris saja gue terlompat ke bawah.

"kamu ngagetin aja Chi," gue sedikit terengah karena benar-benar terkejut tadi. "by the way kok lo ke sini gak bilang dulu sih?"

Echi tersenyum simpul. sangat sederhana dengan sedikit sudut bibirnya terangkat ke samping. beda dengan cara dia tersenyum biasanya.

"lo kenapa Chi? kok murung gitu?" tanya gue lagi mendapati Echi yg berdiri mematung di samping gue.

Echi menggeleng perlahan.

"mau bikin kopi?" gue menawarkan.

Echi menggeleng lagi.

"atau lo laper?"

dijawab dengan gelengan lagi. gue turun dari tempat gue duduk. menyandarkan gitar ke dinding lalu berdiri di samping Echi. gue raih dan genggam tangannya. dingin...

tadi sore memang sempat hujan cukup lama dan baru selesai menjelang malam. Echi pasti kedinginan. maka gue pun memeluknya.

"kok agak bau lumpur-lumpur gitu yaa?" gue membatin dalam hati. gue cari ke sekeliling dan di bawah sana ada kubangan lumpur becek tergenang air berwarna cokelat. pasti asal baunya dari sana.

gue membelai pelan rambutnya. entah kenapa malam ini gue merasa sangat damai dengan memeluk Echi sambil menatap langit yg pekat bersih nyaris tanpa bintang. mungkin mereka masih sembunyi gara-gara hujan tadi.

"Ri..." akhirnya Echi bicara.

"kenapa, sayang?" sahut gue di telinganya.

"lo liat bintang itu?" Echi menunjuk satu-satunya bintang yg bersinar di selatan langit.

"gue liat." jawab gue.

"seandainya gue jadi bintang itu, lo mau nggak tiap hari bolak-balik bumi-langit buat ketemu gue di sana?" itu pertanyaan teraneh yg pernah gue denger dalam hidup gue.

"kok nanyanya gitu?" gue tertawa kecil. "apapun akan gue lakukan buat elo, Chi." ciee...gue mulai gombal.

Echi diam merenungi kalimat gue barusan. gue memeluknya makin erat. ah, betapa gue ingin selalu seperti ini. bersama melewati malam dan tak pernah terganti sampai nanti.

beberapa menit kami sama-sama diam. hanya menatap langit tanpa bicara. tiba-tiba nada dering hp gue berbunyi dari kamar Indra. gue lagi nge charge soalnya jadi nggak gue bawa.

"bentar ya sayang, gue angkat telepon dulu." gue lalu bergegas ke kamar.

bokap gue dari kampung nelepon. hanya pembicaraan ringan menanyakan kabar gue di sini dan sedikit perlu dengan uang. nggak lama, hanya sekitar sepuluh menit lalu gue keluar lagi hendak menemui Echi.

"heyy..." gue berseru tertahan mendapati beranda kosong tanpa seorang pun di sana. "Chi, lo di mana say? mau maen petak umpet yah??"

gue tertawa sendiri. tapi bingung juga karena di sini nggak ada tempat buat bersembunyi. gue tunggu lima menit dia nggak muncul juga. maka gue cek ke bawah. gue coba tanya ke temen-temen yg gue kenal dan katanya mereka nggak memperhatikan karena lagi asyik di kamar masing-masing. gue coba keluar siapa tau Echi lagi di warung depan kos, tapi nggak ada juga.

maka gue memutuskan kembali ke atas, mencoba menghubunginya lewat hp. baru aja gue buka pintu kamar, hp gue berbunyi tanda sms masuk.

Gue balik dulu ya, Ri...

begitu pesan dari Echi. langsung gue balas seperlunya ditambah sedikit basa-basi seperti biasanya. gue lalu rebahan di kasur. jam kecil di atas televisi menunjukkan pukul setengah sembilan malam. sudah waktunya tidur. besok pagi-pagi gue harus ke kosan Echi dulu sebelum berangkat kerja karena pakaian ganti gue memang ada di sana. di kamar gue sendiri hanya ada beberapa untuk perlengkapan tidur.

"permisi.." seseorang mengetuk pintu kamar.

bergegas gue buka pintu dan gue lihat penghuni kamar seberang Indra berdiri menenteng gitar milik Indra.

"udah mau tidur ya Mas? ini gitarnya ketinggalan di luar, barangkali ilang kan sayang." dia menyerahkan gitar itu.

"eh iya Pak, tadi saya lupa. makasih banyak Pak."

beberapa saat setelah itu gue sudah rebahan lagi di kasur. malam ini gue pengen ditemani lagu-lagu Mariah Carey. gue cari kaset CD nya di tumpukan kaset di atas VCD lalu gue setel dengan volume seperlunya. damai sekali nampaknya malam ini.

gue pejamkan mata. dan bayangan-bayangan wanita berkaos kaki hitam mulai muncul di benak gue. gue buka mata dan seketika bayangan itu lenyap. saat gue pejamkan lagi mata gue, yg muncul di hadapan gue sekarang adalah wajah Echi.

senyuman teduhnya menghantarkan gue ke alam mimpi...


Part 10


"tok tok tok!"

ketukan di pintu membangunkan gue dari tidur. ketukannya makin cepat terdengar dan hampir saja pintu roboh kalau gue nggak cepat-cepat membukanya.

"apaan sih lo Ndra?" gue mendengus begitu tau yg mengetuk pintu adalah Indra. "masih pagi juga udah gedor-gedor kamer orang."

"ini kan kamer gue?"

"iya iya. gue ulangi deh, ngapain pagi-pagi gedor kamer elo?"

"buruan pake pakean lo!" kata Indra tetap berdiri di tempatnya.

"ada apaan emang?"

"sms gue masuk nggak sih??"

gue cek hp yg masih tersambung dg charger. di layarnya terdapat pemberitahuan memori pesan penuh. maka gue segera hapus semua pesan di inbox dan satu pesan baru dari nomor Indra langsung masuk.

'Echi kecelakaan. dia dirawat di RS Dewi S*i. nanti gue jelaskan lagi, ketemu di sana aja.'

"maksudnya apaan nih?" tubuh gue bergetar cukup hebat. gue berharap yg gue baca ini hanya sms lelucon.

"tadinya gue mau kita ketemu di sana, tapi gue sms elo kok nggak masuk-masuk ya jadi gue pastikan aja ke sini."

"lo becanda kan?"

"gue tau batasan-batasan becanda Ri. ini serius! semalam gue dapet kabar dari family nya Echi, gue kenal baik keluarganya dan mereka tau gue juga ada di karawang yaa jadi mereka ngehubungin temen terdekatnya Echi yaitu gue."

"terus gimana keadaan Echi sekarang??"

Indra menarik nafas berat.

"dia lagi sekarat. kepalanya mengalami pendarahan hebat, itu yg gue denger dari kakaknya yg ngehubungin gue."

"kok bisa? emang gimana kronologinya?"

"yaah...katanya sih Echi lagi nyebrang mau ke mini market gitu, tanpa dia tahu dari arah kanan ada motor yg melaju kencang dan terjadilah tabrakan maut itu. sayangnya pelaku penabrakan itu kabur."

seketika darah dalam tubuh gue memanas. tulang-tulang gue seolah lemas. gue terduduk dalam diam.

"bukannya lebih baik sekarang kita pastikan keadaannya di rumah sakit?"

gue mengangguk. maka setelah merapikan diri seperlunya gue dan Indra bergegas turun keluar.

"lo napa Ndra?" tanya gue melihat Indra berjalan agak tertatih di belakang gue.

"udah sejak tiga hari yg lalu, gue kecelakaan kerja di pabrik. kebentur mesin gitu."

"ya udah gue aja yg bawa motornya," gue berjalan ke tempat parkir. "motor lo mana Dul?"

"tuh yg Sup*a item. gue lagi pake punya cewek gue. motor gue lagi turun mesin di bengkel kemaren."

dan berangkatlah kami berdua menuju rumah sakit tempat Echi dilarikan. saat itu fajar baru menyingsing tapi gue abaikan rasa dingin yg menusuk sekujur tulang dalam tubuh. kami memacu menembus kabut yg memang masih kerap muncul di pagi hari di karawang. gue nggak peduli. seperti yg gue bilang semalam pada Echi, gue akan lakukan apapun untuknya...

-----

ahh.....rasanya sangat sakit. teramat sangat sakit melihat tubuhnya terkapar tak berdaya. dengan nafas masih tercekat di kerongkongan gue cuma bisa terdiam merelakan mobil ambulans yg membawa tubuhnya berlalu dari tempat ini.

"sabar yah Ri..." Indra menepuk bahu gue pelan. "gue tau yg lo rasain saat ini."

entah sudah berapa lama gue menangis. waktu berjalan sangat lambat.

pagi tadi, gue datang saat tim dokter menyatakan menyerah. pendarahan di kepala Echi begitu hebat sehingga nyawanya tidak tertolong lagi. keluarga Echi memutuskan untuk memakamkan jasadnya di kota kelahirannya Surabaya.

nggak perlu bertanya bagaimana rasanya kehilangan orang yg kita sayang dengan begitu tiba-tiba. samasekali nggak pernah terfikir tentang kepergiannya ini. gue dan Echi sedang dalam hubungan yg harmonis dan mulai membicarakan hal serius tentang hubungan kami. tapi kini semua itu tinggal lalu. menyisakan setitik perih yg mengendap di hati.

menurut info yg gue dapat, Echi mengalami kecelakaan naas itu sekitar jam delapan malam.

"nggak mungkin!" gue masih mencari titik lemah kenyataan di hadapan gue. "semalem itu Echi ke sini. gue dan dia berdiri di sini! kita malah pelukan gitu!" gue menunjuk tembok beranda dimana semalam gue yakin gue berdiri di samping Echi.

"Ri, Echi itu ketabrak jam delapan. terus dilarikan ke rumah sakit jam setengah sembilan..kan lo liat sendiri jam masuknya tadi." Indra mencoba menjelaskan.

"terus kalo gitu yg semalem ngobrol sama gue siapa Ndra??" suara gue meninggi diiringi airmata yg jatuh. "yg gue peluk itu siapa??? lo mau bilang kalo itu setan lagi?!!"

Indra diam. dia nggak berani mengkonfrontir gue. dia lagi-lagi menepuk bahu gue mencoba menenangkan emosi yg tengah mengurung gue.

"gue tau lo sayang banget sama Echi, dia juga sayang sama lo. dia selalu cerita ke gue kalo dia tuh pengen lo jadi yg terakhir buatnya."

Indra diam. gue masih sesenggukan menangis.

"gue nggak bilang yg semalem itu setan atau apa lah itu..tapi gue yakin, kehadiran Echi waktu itu karena dia pengen ada di samping lo menjelang saat terakhirnya. mungkin itu semacam ucapan perpisahan buat lo."

sms itu! gue ingat sms terakhir dari Echi. segera gue cek hp. tapi gue terhenyak, karena tadi pagi gue menghapus semua inbox di hp gue. dan dalam terapi kejut itu, mendadak gue rasa semuanya menjadi gelap....


Part 11


N 6689 M

gue pandangi coretan di kertas kecil di tangan gue. sudah dua hari ini gue sering menatap berlama-lama deretan angka itu meski tanpa hasil apapun. dua hari yg lalu saat gue ke kantor Polsek gue mendapat informasi tentang identitas pelaku tabrak lari Echi. salahsatu saksi berhasil menghafal plat nomor sepeda motor yg melarikan diri itu.

sebuah sepeda motor Me*a P*o berplat nomor N 6689 M. untuk identitas pelakunya, sayang belum ada kejelasan karena saat kejadian si pelaku menggunakan helm full face dan jaket kulit serta celana jeans hitam sehingga cukup menutup ciri-ciri fisiknya. yg pasti dia memiliki tinggi badan se Indra lah..lumayan tinggi. pihak Polisi sedang melacak keberadaan kendaraan asal kota Malang itu (huruf N adalah kode nopol Malang).

hal ini juga menjadi ironi sendiri buat gue. dimanapun gue berada, setiap gue melihat sepeda motor melintas gue jadi selalu tertarik untuk memperhatikan plat nomornya. siapa tau si pelaku kebetulan lewat di depan gue, kan bisa langsung gue hajar tuh orang. tapi gue jadi nggak tenang. gue selalu merasa si pelaku bisa muncul kapan saja, maka sekali gue lengah gue akan kehilangan dia. dan sore ini gue duduk di tembok balkon kamar gue memandang kendaraan yg lalu lalang di bawah. entah sudah berapa ratus kali gue membaca plat nomor kendaraan yg gw lihat sejak mendapatkan informasi dari Polisi.

"berdoa aja semoga si pelaku lewat terus nyapa lo," kata Indra yg tiba-tiba muncul di belakang gue sambil menenteng gitar.

gue tersenyum kecut.

"ayolah bro...almarhum Echi udah tenang di sana. jangan bikin dia sedih dengan tangisan kita," Indra coba menghibur.

"lo nggak tau sih gimana rasanya.." sahut gue lirih tanpa menoleh ke arahnya.

"oke gue gak tau gimana rasanya kehilangan pacar dg cara seperti ini, tapi gue tau rasanya kehilangan sahabat," Indra duduk di sisi lain tembok. "waktu sekolah dulu gue emang nggak terlalu deket sama Echi, malah lebih cocok disebut Tom and Jerry daripada sahabat. tapi gue beruntung sekolah di Surabaya, gue jadi kenal sama dia."

"emang lo aslinya darimana?"

"gue lahir dan tumbuh di Sidoarjo. tapi pas SMA gue ikut Pakde gue di Surabaya sampe lulus kuliah, baru kerja di sini."

"wah selama ini gue kira lo arek-arek Surabaya asli."

"weleh weleh...koe nang endi wae toh le...le...." dia geleng kepala lalu tertawa.

"kaki lo gimana, udah sembuh?"

"yaah lumayan lah udah bisa lari sedikit sedikit."

gue kembali diam melamun. pikiran gue menerawang membayangkan Echi lagi. ah, betapa sakitnya rasa ini. gue akan membalasnya Chi, begitu gue ketemu pelaku tabrakan itu, gue akan membalaskannya! gue bersumpah gue akan buat perhitungan dengan dia!! bukankah hutang nyawa harus dibayar nyawa juga???

"kadang nggak semua pembunuh itu dihukum mati," kata Indra seolah bisa membaca yg ada di pikiran gue saat ini. "hutang nyawa memang layak dibalas nyawa, tapi bukan kita yg pantas membalasnya. ada yg lebih berwenang menentukan balasan yg tepat. kalau dirasa balasan dari lembaga hukum kurang memuaskan, kita selalu punya Tuhan sebagai harapan. Dia yg tau segalanya."

gue diam mendengarkan advice nya itu. kalau saja bukan seorang sahabat baik yg bicara, sudah pasti gue akan tolak mentah-mentah paradigma nya tentang hukuman Tuhan. gue yakin sore ini akan jadi debat yg menyenangkan. tapi gue menghormati Indra. pikiran gue lagi keruh, gue nggak mau menambah keruh lagi dengan debat kusir yg sia-sia.

dua minggu sudah berlalu sejak kecelakaan naas itu. dan Indra kerap men support gue supaya cepat bangkit dari keterpurukan karena kehilangan Echi. gue tau dia pasti iba melihat gue yg akhir-akhir ini jadi pemurung. he's my best friend. thanks guys gue nggak tau apa jadinya gue tanpa elo, mungkin gue udah nyusul Echi kali yaa...

"pinjem pick punya elo dong Ri," suara Indra membuyarkan lamunan gue.

"lah..bukannya lo punya pick kesayangan yg selalu lo bawa kemana-mana itu?"

Indra memang punya sebuah pick bertandatangan Ahmad Dhani personil grup band Dewa19. pick itu didapatnya waktu masih aktif di fans club nya Dewa19 semasa kuliah dulu. sekedar info, Indra memang fans berat sama grup band itu.

"gue lupa naro dimana. lo punya kan? gue nggak biasa gitaran pake jari doang."

gue merogoh saku jeans dan mengeluarkan sebuah pick berwarna orange. pick murahan yg gue beli di toko pinggir jalan. Indra mengambilnya dan kemudian mulai memetik gitar di tangannya.

gue pikir gue akan menghabiskan sore itu dengan mendengarkan Indra bernyanyi, tapi kami sama-sama terdiam saat mendengar suara itu.

"suara cewek nangis!" kata Indra.

"dari kamar itu," gue menunjuk kamar seberang. kamar wanita berkaos kaki hitam..

suaranya jelas. bukan hanya desiran angin, tapi benar-benar nyata seperti yg pernah gue dengar. gue beranikan diri mendekat dan mengetuk pintunya.

"Ri, itu..." Indra menunjuk bawah kaki gue.

dari celah sempit di bawah pintu kamar, ada sesuatu keluar mengalir. cairan berwarna merah. merah pekat dan kental...

DARAH.....!!!!!


Part 12


"heyy...apa yg terjadi? lo baik-baik aja kan?!" gue gedor pintunya berkali-kali. "buka pintunya!"

panik. berapa kali pun gue memutar handle pintu itu bergeming. tidak ada respon dari orang di dalam. hanya suara tangisnya yg kini lenyap.

"minggir.." Indra memasang kuda-kuda. gue menepi dan kemudian dia menghempaskan tubuhnya ke pintu berusaha mendobraknya.

"aaaaarrggggh..." suara Indra terdengar miris. dia terhuyung mundur sambil pegangi kaki kanannya yg kesakitan akibat benturan tadi.

"ah lo belagak di film laga aja," komentar gue. aneh memang di saat seperti ini gue pengen ketawa.

cairan merah di bawah pintu masih menjalar sampai nyaris menyentuh ujung kaki gue. gue gedor lagi pintunya. tetap tidak ada jawaban.

"bongkar aja jendelanya," Indra mengusulkan. "nih ambil obengnya di bagasi motor gue."

dengan gelagapan gue menangkap kunci yg dilemparnya. bergegas gue turuni tangga menuju tempat parkir di bawah. bukan tempat parkir khusus memang, hanya halaman kosong yg cukup luas di depan bangunan kamar-kamar ini.

"lagi ngapain lo Ri sama motor gue?" seorang penghuni kamar di bawah muncul ketika gue bersikeras memutar kunci bagasi salahsatu motor di sana.

"gue mau ambil obeng punya Indra, tapi kok nggak kebuka-buka ya dari tadi?" gue sedikit menggerutu.

"jelas nggak bisa. itu kan R* King gue? punya Indra mah yg itu tuh, yg plat nya 'W'."

"upz, sorry bos. gue buru-buru soalnya."

dan semenit kemudian gue sudah berlari lagi menaiki tangga menuju lantai atas. sempat terpeleset dua kali, gue tiba di sana tepat sesaat setelah Indra terhuyung lagi. rupanya dia masih berusaha mendobrak pintu.

"minggir," giliran gue yg beraksi. dengan cekatan gue berhasil melepas engsel jendela kurang dari dua menit.

jantung gue berdebar menebak-nebak apa yg akan gue lihat di balik jendela ini. ada sebuah gorden warna merah terpasang di lubang jendela. bersama Indra gue turunkan daun jendela dan menyandarkannya ke tembok.

"lo aja yg masuk, gue nggak bisa lompat," kata Indra.

nggak butuh instruksi yg ke dua kali buat gue menyibak gorden merah itu dan bau amis langsung menyeruak menusuk hidung. gue sibakkan lebih lebar sementara mata gue terperangah menatap pemandangan di dalam ruang kecil berukuran nggak lebih dari 4x4 meter itu.

sebuah ruangan dengan pencahayaan redup dari bohlam kuning yg kusam yg tergantung di atap. keadaannya nyaris gelap dan gue harus memicingkan mata supaya bisa melihat lebih jelas. sampai akhirnya mata gue bisa beradaptasi dengan kegelapan di dalam sana tangan gue meraba pintu dan membuka gerendelnya.

gue dan Indra segera masuk ke kamar pengap itu. yg pertama menarik perhatian gue adalah bercak darah di depan pintu, yg tadi mengalir keluar lewat celah sempitnya. nampak seperti bekas diseret dan tetesan-tetesannya menitik menuju ruangan yg lebih kecil di sana, kamar mandi. gue dan Indra saling pandang. rasanya kali ini pikiran kami sejalan. maka buru-buru kami buka pintu kamar mandi dan.....baru kali ini gue melihatnya!!

perempuan itu setengah bersandar pada bak mandi kecil di sana. dia mengenakan pakaian lengkap plus kaos kaki merah, ups itu bukan kaos kaki merah. itu darah!!

darah yg mengalir deras hampir menutupi kedua betisnya. kedua telapak tangan perempuan ini juga bersimbah darah. dan di samping tubuhnya ada sebuah belati kecil berlumuran cairan merah.

gue nyaris muntah melihat ini semua. tubuh gue bergetar lebih cepat dari detakan jantung gue.

penampilan perempuan itu sangat mengenaskan. dengan sebagian rambut panjangnya yg menutupi wajah, gue masih bisa mendengar dia terisak pelan menahan sakit.

"gotong dia keluar," kata Indra.

baru saja gue hendak meraih punggungnya ketika tiba-tiba dia mengambil belati dan mengacungkannya tepat di wajah gue.

"jangan sentuh gue!!" teriaknya parau. melengking dan tercekat. mengerikan untuk didengar.

gue diam. Indra juga diam. menunggu apa yg mungkin terjadi.

"keluar kalian!" teriaknya lagi tetap dengan pisau yg teracung di wajah gue.

"tenang Mbak...kita nggak ada maksud apa-apa kok," gue coba berdiplomasi.

"kalian brengsek!! kalian sama aja dengan mereka!!" dia menangis. lebih kencang. sambil tangan yg memegang belati dipukul-pukulkan ke dinding bak mandi. ada kengerian sendiri saat mendengar tiap helaan nafas yg dia lakukan.

"lebih baik kalian pergi..." suaranya lebih rendah sekarang.

gue dan Indra saling pandang. lalu seolah dikomando, gue cekal pergelangan tangannya dan sebisa mungkin gue lepas belati di genggamannya. bunyinya bergemerincing saat mata pisau beradu dengan lantai. perempuan itu sempat memberontak tapi tenaganya yg lemah menjadi sia-sia melawan kami.

dengan kaki dan tangan yg masih kejang-kejang memberontak dia berusaha melepaskan diri. untung tangan gue berhasil menutup mulutnya mencegah dia berteriak menarik perhatian yg lain.

"bawa ke kamar gue dulu," kata Indra. "biar nggak memancing keributan."

dan walau susah payah beberapa saat kemudian kami berhasil memindahkannya ke atas kasur di kamar Indra...


Part 13


"DIAM!!!" sebuah tamparan mendarat di pipi kiri wanita itu. seketika dia berhenti memberontak.

dengan cukup terkejut gue menatap bergantian Indra dan wanita itu. gue nggak nyangka Indra akan melakukan hal itu, menampar si wanita.

"gue mau nolong lo...please lo jangan berontak terus," suara Indra terdengar bergetar.

wanita itu diam. nafasnya terengah-engah. saat ini seprai kasur Indra yg berwarna putih sudah nyaris ber metamorfosa jadi warna merah gara-gara darah yg terus mengucur dari kaki si wanita ini.

"Ri, lo lap dulu lukanya. gue bikin perban deh," Indra bergegas membuka lemari baju dan mulai menggunting di bagian depan dan belakang baju yg dia ambil.

"sorry," gue pegang kaki wanita itu dan mulai menyeka darah dari kakinya dengan secarik kaos yg diberikan Indra tadi.

lukanya cukup dalam. meski sekarang darah yg mengucur nggak sebanyak di awal tadi. wanita itu meringis kesakitan saat gue menyentuh lukanya.

and did you know? yg bikin gue merinding bukan darahnya, tapi bekas luka yg ada di sekujur kaki wanita itu, memaksa gue menelan ludah menahan ngeri. banyak sekali luka sayatan di sana, mulai dari paha sampai telapak kaki!! kebanyakan luka lama yg membekas dan belum sepenuhnya menutup, dan ada tiga luka baru yg gw lihat masih mengucurkan darah. rupanya luka inilah yg membuat kami mandi darah hari ini.

saat itu si wanita mengenakan celana jeans pendek biru, tapi sekarang sudah nyaris menjadi merah juga. dan gue bener-bener shock nyaris pingsan melihat semua goresan luka sayat di kaki wanita itu.

apa yg sebenarnya terjadi?? kenapa bisa begitu banyak luka?? siapa yg melakukan ini padanya??? percobaan pembunuhan kah?? atau bunuh diri?? karena di kamar tadi nggak ada orang lain selain wanita itu.

aah, pertanyaan-pertanyaan gila ini mendadak memenuhi ruang kecil di otak gue yg nyaris saja pecah menerima kengerian di depan gue. seumur hidup baru kali ini gue mengalami yg seperti ini!!

dengan beberapa potongan panjang kain dari kaos yg diguntingnya, Indra membalut betis wanita itu. gue sendiri berinisiatif mengelap darah dari tangan si wanita. dia nampaknya sudah lebih menguasai diri sekarang.

dia masih menangis pelan. dari wajahnya gue bisa melihat ada penderitaan yg teramat dalam di sana. entah apa itu, mungkin sesuatu yg sangat sulit untuk dihadapi.

wanita berkaos kaki hitam....kali ini tanpa kaos kaki hitamnya. tunggu, apa dia memakai stocking panjang itu untuk menutupi luka-luka di kakinya?? kalau dilihat dari bekasnya, luka-luka itu jelas adalah luka yg dibuat beberapa waktu yg lalu. cukup lama. berarti, apa mungkin dia sendiri yg membuatnya? tapi untuk apa dia melukai dirinya sendiri?? bukankah itu menyakitkan?? apa tujuannya melakukan hal itu??

huuffftt......gue sandarkan punggung ke dinding. hanya bisa menatap wanita yg tergeletak lemah di atas kasur. mungkin dia tertidur. Indra sudah selesai membalut dan dia baru keluar dari kamar mandi setelah mencuci bekas darah di tangannya.

"buruan mandi, kita akan bawa dia ke rumah sakit," kata Indra.

"jangan...." wanita itu berkata lirih. "jangan bawa gue ke rumah sakit. jangan bawa gue ke sana.."

"eh, cewek aneh. lo itu mengalami luka serius. lo butuh pertolongan yg layak."

"nama gue Mevally, bukan cewek aneh."

Mevally..........akhirnya gue tau namanya.

"oke lah siapapun nama elo, kita harus ke rumah sakit. H-A-R-U-S!!"

"gue nggak apa-apa!" Mevally mencoba bangkit dan duduk.

"nggak apa-apa lo bilang??" Indra kernyitkan dahi. "mandi darah gitu lo bilang nggak apa-apa??? lo nggak ngerasain sakit apa??! gue yg liatnya aja ngeri!"

"gue nggak apa-apa! gue udah biasa!" Meva bersikeras menolak.

hey..apa maksudnya udah biasa?? apa wanita ini benar-benar gila untuk melukai dirinya sendiri??!

"terus, lo pikir lo hebat gitu?? dengan semua luka di kedua kaki lo, lo pikir lo cewek keren?? lo anak Banten yah?" Indra mencibir.

Meva menangis lagi sambil terduduk. gue yg sejak tadi diam mendengarkan jadi iba dengannya. pasti beban di pikirannya sudah melebihi batas yg sewajarnya. ada semacam guncangan hebat yg menerpa dirinya gue yakin.

gue geleng kepala melihat penampilan cewek yg satu ini. sangat acak-acakan. dengan rambut basah oleh keringat dia nampak semakin berantakan.

"ya udah kalo gitu lo tidur aja dulu," gue angkat bicara. "jangan nangis aja."

gue ambilkan segelas air dan menyerahkannya ke Meva. dia memegangnya dengan bergetar.

"minum," kata gue.

dia menurut.

"makasih," ujarnya pelan seraya mengembalikan gelas ke gue.

"lo tiduran aja dulu, jangan banyak gerak." gue membimbingnya merebahkan badan di kasur.

gue sandarkan lagi punggung gue ke dinding. memandang kosong sosok wanita yg tertidur di depan gue. hari ini seperti mimpi. dari dulu gue memang pengen tau tentang wanita ini. tapi bukan dengan cara semacam ini. entahlah, gue harus bersyukur atau apa.

wanita berkaos kaki hitam. dia memang wanita yg misterius........


Part 14


"Ri...bangun Ri....." sebuah tepukan di bahu membangunkan gue. "ikut gue."

kepala gue mendadak pening. gue baru saja tertidur selama beberapa menit. tidur sebentar selalu nggak baik buat gue. perlahan gue bangkit dan mengikuti Indra ke tembok balkon. bahkan saat itu gue nggak menyadari pakaian gue masih belepotan darah wanita itu.

"kita harus bereskan ini sebelum yg lain tau," kata Indra melirik percikan darah yg menghubungkan dua pintu kamar.

"gimana sama si Meva? kita perlu bawa dia ke rumah sakit."

"enggak. lo tau sendiri kan dia ngotot nolak ke rumah sakit? biar gue minta dokter kenalan gue ke sini. makanya gue butuh bantuan lo. lo beresin kamernya sementara gue jalan yaa?"

gue mengangguk. dan lima menit kemudian mulailah gue membersihkan noda darah di lantai sekitar pintu.

"gue nggak lama kok. magrib juga balik," kata Indra sambil lalu. langkah kakinya menuruni tangga terdengar semakin menjauh.

hufft....gue berdiri mematung menatap pintu kamar Meva. saat berjalan masuk ke sana bau amis langsung menyeruak. bau darah. gue memutar kepala menyapu pandangan ke semua sudut kamar.

hati gue mencelos ketika gue sadar banyak darah di kamar ini. terlalu banyak darah! bekas darah yg mengering di lantai dan tembok.

O my gosh!! pantas saja wanita itu jarang terlihat di sini. dia menjadikan kamar ini hanya semacam laboratorium praktek atau entah apa namanya. hanya ada sebuah rak buku kecil di dalam sini. padahal buku-bukunya sendiri berserakan di lantai.

dan beberapa pasang stoking hitam.........

"tempat macam apa ini???" gerutu gue dalam hati.

gue mendekat ke dinding kamar dekat pintu. jejak tangan berlumur darah membekas jelas dengan beberapa tetes yg baru saja menempel di sana. bahkan sidik jari wanita itu nampak jelas di dinding bercat putih ini.

melihat semua ini maka nggak butuh waktu lama buat gue sepakat dengan hati gue bahwa Mevally, wanita berkaos kaki hitam itu memang gila! ada semacam gangguan jiwa gue yakin itu.

sambil berharap kamar yg sedang gue tempati ini belum jadi lokasi pembunuhan berantai gue bersihkan bekas darah di lantai. beberapa kali gue mengalami kesulitan dengan bercak kering di tembok sebelum gue putuskan menyerah. biar nanti tembok ini dicat ulang untuk menghilangkan bekas darahnya.

lantai sudah gue pel dan buku-buku itu bertumpuk di tempat yg semestinya. kaos kaki hitam wanita itu gue bawa ke kamar Indra. gue yakin dia akan butuh ini nanti. Indra datang saat matahari sudah benar-benar terbenam. dia bersama seorang lelaki paro baya yg kemudian gue kenali adalah Dokter Yusuf.

"dia menderita non-suicidal self injury," kata Pak Dokter saat kami bertiga keluar dari kamar. dia baru saja melihat keadaan Meva.

"apaan tuh Dok?" gue bingung.

"kalo dilihat dari bekas luka-luka yg ada, itu adalah bekas luka yg sengaja dia buat sendiri," Dr. Yusuf coba menjelaskan.

gue merinding sendiri mendengarnya.

"orang bodoh mana yg mau melukai dirinya sendiri??" gue masih sulit mempercayai yg gue dengar barusan. "apa enaknya ngelakuin kayak gitu, nyobek-nyobek kulit tubuh?!"

"itulah yg saya maksud. non-suicidal self injury atau biasa disebut self injury saja, adalah penghancuran disengaja diskrit jaringan tubuh tanpa maksud bunuh diri," nampaknya Dr. Yusuf mencari bahasa yg mudah gue mengerti. gue dan Indra memperhatikan dengan ekspresi ngeri. "kita coba untuk menghancurkan tubuh kita, tapi kita nggak bermaksud untuk bunuh diri. beberapa perilaku menyimpang ini seperti memotong, membakar dan ukiran kulit untuk mematahkan tulang, atau menempelkan pin dan jarum pada bagian tertentu tubuh kita. biasanya tangan dan kaki jadi sasaran empuk penderita ini melampiaskan keinginannya."

nafas gue seperti tertahan di kerongkongan. bulu kuduk gue mendadak berdiri.

"saya baru denger ada yg kayak gitu Dok," komentar Indra.

"kok bisa...punya hobi ngelukain diri sendiri?" gue mendukung pernyataan Indra. "dia gila tingkat tinggi ya?"

Dr. Yusuf menggeleng.

"penderita self injury ini normal. samasekali nggak menderita kegilaan."

"tapi kenapa bisa kayak gitu??"

"mereka melakukan self injury saat pikiran mereka kalut, takut, pusing atau semacamnya yg sifatnya berlebihan. karena menurut mereka, dengan cara ekstrim seperti itu bisa menenangkan mereka dan membawa rasa lega. mereka menggunakan self injury untuk mencoba merasa lebih baik dalam jangka pendek."

gue dan Indra terdiam. kami hanya saling pandang keheranan takjub, aneh dan tentu saja ngeri mendengar penjelasan tadi!!

"terus..kami mesti gimana Dok?" tanya gue.

"lebih baik bicarakan dengan psikiater, karena ini bukan soal medis belaka, faktor psikis lebih berperan dalam hal ini."

gue benar-benar shock! kegilaan apa ini?? mana ada orang yg mau melukai dirinya sendiri?? hanya orang-orang bodoh yg nggak mensyukuri hidup.

huuffftt.....gue terduduk di kursi depan kamar. sambil mencoba membayangkan rasa sakit akibat melukai diri sendiri, diam-diam gue justru merasa lebih baik kalau wanita itu adalah hantu...


Part 15


"jadi gimana nih selanjutnya?" tanya gue ke Indra sambil menatap tumpukan obat yg tadi diberikan dokter.

Indra diam sebentar.

"kita tunggu dia bangun dulu, baru kita bicarakan baik-baik apa yg harus kita lakukan." jawabnya.

potongan kain di kedua kakinya sudah diganti dengan perban oleh dr. Yusuf. wanita berkaos kaki hitam itu kini jadi wanita "berkaos kaki" putih. dalam hati gue sendiri nggak pernah menyangka kaos kaki hitam yg dipakainya ternyata untuk menutupi bekas-bekas luka yg dibuatnya sendiri. muncul rasa iba sekaligus takut melihat sosok wanita yg sekarang sedang tertidur di kasur.

gue melangkah keluar kamar menuju tembok balkon favorit gue. haah...betapa tadi gue masih meratapi kesedihan karena kehilangan Eci dan beberapa jam terakhir pikiran gue tersedot ke wanita berkelainan jiwa bernama Mevally. sekarang waktunya gue mengistirahatkan otak gue.

gue duduk di kursi kecil depan kamar yg gue taroh di sudut tembok balkon. sambil menjulurkan kaki gue coba pejamkan mata. menikmati heningnya malam yg sejuk ini.

"Ri," belum juga lima detik gue pejamkan mata suara Indra terdengar memanggil di sebelah kiri gue berada.

"apa?" gue menoleh.

"gue mau buang pakaian bekas tadi," katanya mengangkat sebuah kantong hitam berisi pakaian berlumur darah yg tadi kami pakai sebelum mandi. "sekalian beli nasi goreng. lo mau nitip?"

"boleh tuh."

sial, begitu tersedotnya pikiran gue sampai-sampai gue lupa sejak siang tadi gue belum mengisi perut.

"pedes nggak? telornya dicampur apa dipisah?" tanya Indra lagi.

"pedes tapi telornya dipisah." itu adalah menu favorit gue kalau makan nasi goreng. ternyata Indra masih belum hafal juga padahal gue sering nitip beli nasi goreng ke dia.

"ya udah tolong lo jagain cewek ini yah.." lanjut Indra lalu melangkah menuruni tangga. suara sandalnya beradu dengan lantai keramik terdengar seperti sebuah irama yg memecah keheningan malam ini.

heyy...kok gue baru sadar yaa malam ini sepi banget nih kosan? pada kemana para penghuni kamar yg biasanya begitu berisik dengan lagu-lagu dari speaker mereka? sekarang malah suara jangkrik yg bersahutan menyanyikan senandung mereka.

dan tiba-tiba gue melihatnya! Echi! dia berdiri di depan tempat gue duduk!!

aah..itu di dalam pikiran gue aja. ketika gue buka kedua mata gue, nggak ada siapapun di sana. hanya sebuah kekosongan yg begitu hampa. sama dengan yg gue rasakan sekarang dalam hati gue.

sangat menyakitkan rasanya mendapati kenyataan orang yg kita cintai harus direnggut dengan cara yg begitu tragis. kadang gue menerka seperti apa wajah "malaikat pencabut nyawa" yg sudah membuat gue merasakan sakit yg sangat ini. dan jantung gue selalu berdegup kencang tanda emosi gue naik setiap mencoba menerka hal itu.

gue menarik nafas berat. ah, rasanya nafas gue selalu berat setelah kehilangan Echi. entah apa yg harus gue katakan buat menggambarkan sakit ini.

gue hanya diam membiarkan otak gue bermain dengan bayangan-bayangan yg berkelebat nggak jelas. entah sudah berapa lama gue terdiam saat sebuah suara membawa gue ke alam sadar.

"woii...malah molor di depan kamer!" suara Indra mengagetkan gue.

"eh, lo udah balik Dul. kok gue nggak denger suara lo ya?"

"orang tidur mana bisa denger suara?" Indra tertawa.

dia menarik kursi dari depan kamar nomor 21 dan menyeretnya ke dekat gue.

"laper banget nih gue," katanya.

"kok elo beli tiga bungkus? lo mau makan dua?" tanya gue melihat jumlah bungkusan nasi di kantong di tangan Indra.

"gue beliin buat cewek itu. kasian dia juga laper gue yakin."

kami mulai menyantap nasi di tangan kami. ah, akhirnya perut gue terisi juga..rasanya seperti dua tahun kelaparan! (lebay...lebay....)

"udah jam sepuluh nih," gue mengecek jam di hp. "tuh cewek belum bangun juga, dan gue yakin nggak akan bangun sampe besok pagi. jadi gimana?"

"kita tidur aja deh. besok gue kan shif pagi."

"ya udah gue duluan yaa," gue buka pintu kamar gue.

"eeh...mau kemana lo?" Indra menarik leher kaos gue.

"kan lo bilang kita tidur dul??" protes gue.

"tidur dimane lo?"

"ya di kamer gue laah. masa di kamer lo?!"

"ide bagus. lo tidur di kamer gue."

"lho, kok gitu? kan ada si Meva di sana? lo mau temen lo ini diperkosa sama tuh cewek??"

"aje gile! otak lo isinya bokep mulu!" Indra menepuk jidat gue. "tenang aja lo nggak akan diperkosa sama dia. paling juga kepala lo dikuliti pake silet pencukur jenggot!"

"ogah ah! gue tidur di kamer gue!"

"ya udin gue ikut."

"dari tadi kek bilang lo numpang di kamer gue gitu..kan nggak perlu debat nggak penting."

"yaah...penting nggak penting serah lo aja dah."

dan kami mulai mencari tempat yg nyaman untuk mengirim kami ke alam mimpi.

"eh, pintu kamer gue belum ditutup." kata Indra.

"ya udah tutup sana."

"lo aja deh yg nutup."

dengan terpaksa akhirnya gue beranjak keluar hendak menutup pintu kamar Indra. wanita itu masih tertidur di sana. gue sempatkan memandang wajahnya sesaat. hmm...manis juga sebenarnya. dan wajah itu pun menghilang tertutup daun pintu yg gue tutup..
Untuk part-part berikutnya nyusul ya...

Rabu, 23 April 2014

Cerita Mistis


SILUMAN MONYET



                Alkisah disebuah kampung yang angker diwilayah pantai selatan ada mitos sesosok Siluman Monyet yang dipercaya warga selalu datang ke rumah-rumah setiap habis adzan Isya. Si Siluman monyet itu sengaja datang cuma untuk menagih jatah sangu aron sarantang per imah. Asal tau aja ya siapa aja yang ga ngasih aron ke si Siluman monyet maka satu persatu anggota keluarganya bakal dikutuk. Dan kutukannya juga mengerikan anjir. Mereka yang ga ngasih aron bakal dijadikan manusia berkepala endog asin. Ngeri ga bro? Ngeri atuh anying, emang kalian mau kepala kalian berubah jadi endog asin? Kan bete guys entar hulu kamu ada capnya.
Dibalik semua kisah tersebut ada pemuda desa yang selau bersama disaat suka dan duka, mereka adalah Samsul,Dodi, dan Amud. Mereka bertiga bersahabat dari saat umur mereka 2 bulan setengah. Dan mereka memiliki sifat berbeda-beda. Ada Samsul, dia itu pengangguran, sifatnya baik,mau disuruh sama orang tua, dan selalu solat 5 waktu.Tapi si Samsul itu punya sifat buruk yaitu suka ngahilikeun sendal di PS atau Warnet da kata si Samsul juga engga dosa itu mah Cuma ngahilikeun aja engga maok ini. Iyah kumaha sia we samsul L.  Ada juga si Dodi, kerja sebagai pedagang mainan di SD,dia suka mabok dan judi tapi gitu-gitu juga si Dodi mah baik, suka neraktir Samsul&Amud martabak ketan kalo menang judi. Yang terakhir ada Amud. Nama aslinya Mahmud tapi dia lebih pede di panggil amud da katanya biar rada imud. Si Amud  itu anak mang dayat tukang tambal ban. Si Amud itu baik, dia suka bantuin bapanya nambal ban biar dia punya uang buat begadang maen moodo marble di warnet .Tapi si amud juga baik siah suka mijitin kedua sahabatnya kalo disuruh dan ga menta diburuhan cukup dikasih pinjam hp buat ikut smsan aja udah atoh dia mah.
Samsul, Dodi dan Amud itu pemuda kampung yang menentang kepercayaan masyarakat untuk mempercayai mitos Siluman Monyet itu. Mereka berusaha untuk meyakinkan orang-orang untuk berhenti mempercayai Siluman Monyet untuk memberi sangu aron tiap abis adzan Isya. Namun masyarakat kampung malah mencap mereka pemuda terkutuk yang tidak menghargai nenek moyang dan mengasingkan tiga pemuda itu.
Suatu malam saat Si Samsul lagi nongkrong di warung mang Adang dia mendengar bisikan yang ga sengaja dia dengar yang isinya “Heh Samsul menta udud siah” dan saat dia menengok ke arah suara itu ternyata itu adalah sesosok Dodi yang baru datang ke warung. Samsulpun terkaget-kaget sampai mengalami koma selama 3 detik.  Setelah itu mereka ngopi-ngopi dan udud di warung sampai mereka di usir Bi Isah istri mang Adang. Mereka berdua  berencana pergi ke warnet untuk menemui Amud. Pada saat  berjalan menuju warnet  mereka berdua bertemu dengan seorang bapa-bapa.
Bapa-bapa : “kamarana jang?”
Samsul : “karedok”
Dodi : “-____-“
Keadaanpun hening pada saat itu dan si bapa-bapa itu dicuekin. Samsul dan Dodi melanjutkan perjalanan mereka menuju warnet. Tidak lama kemudian Samsul ada yang noel kupingnya.
Samsul : “bro sakali deui ente noel kana ceuli di unfol kuaing”
Dodi : “Naon aisia L
Beberapa detik kemudian mereka berdua mendengar suara misterius ...
“Tok......tok....tok....tok....”
Dodi : “Bray sora naon eta?”
Samsul : “kalem dagoan urang teang”
Samsulpun menengok ke belakang dan mendatangi sumber suara itu. Sedangkan Dodi disuruh menunggu di tempat tadi.
                Samsul berjalan mengikuti sumber suara sampai gak kerasa udah 3 hari dia berjalan. Samsul kaget dan panik karena tidak tau kalo dia itu lagi dimana. Dan setelah melihat spanduk rumah makan yang ada alamatnya Samsulpun terkaget-kaget karena tau kalo dia lagi di Sukabumi. Kasian yah si Samsul. Samsul menangis terisak-isak selama 2 hari di trotoar. Dan setelah berhenti menangis dia sadar kalo ditopinya udah banyak uang receh. Samsul langsung sujud sukur karena dia mengira itu uang dari Tuhan. Akhirnya Samsulpun bisa pulang karena punya uang buat ongkos.
                Sementara Dodi masih menunggu Samsul di tempat yang waktu itu. Kuatan yah si Dodi bisa sesabar itu. Dodi hanya ngampar pake karung dan cuma duduk-duduk aja tanpa makan dan minum selama 5 hari 4 malam. Dodi baru sadar kalo dia sudah menunggu Samsul selama itu. Dodipun bete dia langsung bikin status di facebook “duh puciiinx dah 5 hari lom mam”.
                Dan pada saat itu Samsul tiba dikampung dan langsung menemui Dodi. Mereka berdua pangling karena udah ga ketemu 5 hari.
Dodi : “bray kamana wae euy sombong geus piknik mah, mana oleh-olehna”
Samsul : “Ti sukabumi bro, yeuh aing mawa oleh-oleh pulpen meunang meuli dina beus”
Dodi : “Anying alus pulpena seungit”
Samsul : “cik ningali”
Setelah Samsul ngambeuan pulpen dia langsung menyuruh Dodi untuk membuang pulpen itu, karena Samsul tau kalo pulpen itu pulpen narkoba. Dengan berat hati Dodipun membuang pulpen itu ke solokan.
                Setelah itu mereka berdua sepakat untuk pulang dulu ke rumah masing-masing karena lapar dan mau mandi . Mereka berniat untuk meneruskan perjalanan ke warnet nanti malam dan janjian di tempat Dodi menunggu. Samsul dan Dodi langsung berpelukan karena tidak kuat menahan kesedihan perpisahan mereka sampai akhirnya mereka pulang dengan tenang ke rahmatulloh.
                Di sisi lain Amud yg sedang bekerja di perusahaan tambal ban bapaknya mendengar pengumuman yg sumbernya dari toa mesjid kalo ada yg meninggal tapi Amud ga jelas dengernya karena dia lagi di sisi jalan raya banyak suara kendaraan. Amud gak enak hati dan diapun langsung menuju mesjid dan menanyakan langsung siapa yang meninggal.
Amud : “mang saha nu maot?”
Mang endang : “eta si Samsul budak wa haji jeung babaturana nu begang teh saha”
Amud : “ APA??????!!!!!”
                Amud langsung mendatangi rumah kedua temannya yang meninggal. Tapi diperjalanan dia bingung mau kerumah siapa dulu. Dan Amudpun bingung sampai-sampai frustasi. Karena stres dia tidak bisa memutuskan untuk datang kerumah siapa dulu dia pun membeli lem aibon dan langsung ngelem dipinggir jalan sampai habis 7 lem. Tuhan berkehendak lain, Amudpun gugur dimedan perang dengan tragis, mulut berbusa dan mata nyaris keluar. Amud terlalu banyak menghirup lem aibon sampai akhirnya dia ditemukan meninggal di teras warnet setelah sebulan meningganya kedua teman Amud.
                Mungkin ini suatu azab untuk mereka bertiga karena tidak mempercayai mitos siluman monyet. Dan setelah kepergian ketiga pemuda yg meninggal secara tidak wajar itu, kampung yg dipercayai masyarakat tentang siluman monyet tersebut menjadi tambah angker karena bertambah mitos baru yaitu “Munculnya Siluman kadal berkepala tiga”. Dan apa yg selanjutnya terjadi di kampung tersebut? Pasti penasaran kan? Nantikan episode berikutnya di mana cing? Mana hayo? Aaaaaaaaaa mana atuh? L

Hikmah dari kisah cerita diatas :
“Jangan sekali-kali ngelem aibon disisi jalan apalagi kalo ditengah jalan nanti ketabrak, mending dirumah aja guys biar enjoy”